Di postingan pertama kemarin gue sempat bilang kalau penendara motor di Bandung rada brutal kan? Ini gue sadari sejak semalam sebelum Pasar Seni ITB 2014 diadakan. Gue yang malam hari itu berangkat dengan maksud belajar mengenali medan ditemani Inter menjadi saksi kerasnya cara berkendara orang kota besar. Rencananya emang gue mau minjem motor Inter buat nonton esok harinya, tapi melihat itu? Gue langsung mengurungkan niat. Pulangnya gue langsung WhatsApp-an sama Tiwi, gadis Dayeuh Kolot yang rencananya akan pergi nonton Pasar Seni dengan naik angkutan umum buat ngajak bareng. Karena akan sangat tidak lucu apabila gue yang pergi ke Bandung buat senang-senang mati konyol.
Esok harinya gue berangkat sama Tiwi dan teman sejurusannya, Astrid. Sambil nunggu pembukaannya kelar, gue sama Astrid nemenin Tiwi ngelukis di Car Free Day jalan Juanda. Disana sempat ketemu juga sama teman sekelas di SMA dulu, Zahro dan Teti. Sempat diajak Zahro buat ketemuan sama Fania, Bella dan Mila, tapi gue menolak. Gue yang masih struggle buat berdamai dengan masa lalu tentunya gak akan melakukan kesalahan konyol dengan mengorek luka lama. Tunggu kering dan ngelupas sendiri aja dulu, kalau perlu sampai berganti kulit baru. Dengan sigap gue beralasan buat nemenin Tiwi dan Astrid muter-muter, ngeles.
Gambaran gue akan acara besar tentunya berubah besar setelah nonton Pasar Seni kemarin. Apa itu keramaian? Kenapa dilabeli julukan acara seni terbesar se-Indonesia? Dan beginilah keadaannya.
I have no idea whatsoever.
Jadi apa itu Pasar Seni? Seperti namanya, acara ini berbentuk pasar. Banyak toko-toko maupun instansi yang bergerak di bidang kreatif punya stand disitu. Beberapa kampus seni juga dibekali tempat tersendiri, kampus saya pun termasuk (UNS).
Manusia tumpah ruah di satu area kampus, belum masuk gerbang aja padetnya bukan main. kecepatan saya berjalan bahkan tidak lebih dari 5 cm/s. Map menunjukkan delegasi kampus ada di sayap kiri. Gue yang berencana melihat stand kampus gue terakhiran pun mengambil sayap kanan sebagai daerah yang hendak pertama kali gue telusuri. Di sayap kanan ini juga gue, Tiwi dan Astrid ini cuma cuci mata doang, ada hiburan ditonton, ada jualan ditonton, gak beli sama sekali.
Buat yang gak tau isi Pasar Seni itu gimana? gue punya 2 foto yang yang sempat diambil.
Stand stand itu menjajakan barang dagangannya. Semua barangnya punya nilai seni, dan sayangnya mahal-mahal. Gue yang gak bawa uang kas banyak hari itu cuma bisa melengos dari satu stand ke stand yang lain, masih dengan kecepatan kurang dari 5 cm/s.
Waktu dah menunjukkan pukul 12 siang hari itu. Gue yang udah selesai muter-muter pun pindah ke sayap kiri. Gue janji buat ketemuan sama Naufal yang lagi jaga stand delegasi UNS. 2 kali ngubek-ngubek sayap kiri gue tetap gak nemuin stand delegasi kampus. Baterai HP gue yang sekarat dan sinyal yang raib pun mencegah gue untuk bertanya lebih lanjut. Alhasil gue pada akhirnya cuma nungguin Tiwi di gerbang ITB, btw si Astrid dah pulang duluan karena ada kepentingan lain. Setengah jam kemudian Tiwi nongol, kita akhirnya mencoba (walau muak) masuk lagi buat nyari oleh-oleh seadanya. Meskipun siang sudah dijemput senja keramaian gak berkurang sedikitpun, kecepatan gue berjalan masih tidak lebih dari 5 cm/s.
Setelah dapat gantungan kunci, akhirnya kita keluar. Disana ketemu lagi sama Zahro dan Teti. Sempat foto-foto dan ngobrol-ngobrol sebentar sama mereka. Mereka yang baru mau masuk dan kami yang sudah mau pulang pun akhirnya berpisah. Gue yang diminta buat nemenin mereka muter-muter pun dengan sigap menolak.
Gue udah terlanjur muak karena susah bergerak, akhirnya kita berdua memutuskan untuk kembali ke Dayeuh Kolot tercinta.
Bahagia selamanya.
Esok harinya gue berangkat sama Tiwi dan teman sejurusannya, Astrid. Sambil nunggu pembukaannya kelar, gue sama Astrid nemenin Tiwi ngelukis di Car Free Day jalan Juanda. Disana sempat ketemu juga sama teman sekelas di SMA dulu, Zahro dan Teti. Sempat diajak Zahro buat ketemuan sama Fania, Bella dan Mila, tapi gue menolak. Gue yang masih struggle buat berdamai dengan masa lalu tentunya gak akan melakukan kesalahan konyol dengan mengorek luka lama. Tunggu kering dan ngelupas sendiri aja dulu, kalau perlu sampai berganti kulit baru. Dengan sigap gue beralasan buat nemenin Tiwi dan Astrid muter-muter, ngeles.
Gambaran gue akan acara besar tentunya berubah besar setelah nonton Pasar Seni kemarin. Apa itu keramaian? Kenapa dilabeli julukan acara seni terbesar se-Indonesia? Dan beginilah keadaannya.
I have no idea whatsoever.
Jadi apa itu Pasar Seni? Seperti namanya, acara ini berbentuk pasar. Banyak toko-toko maupun instansi yang bergerak di bidang kreatif punya stand disitu. Beberapa kampus seni juga dibekali tempat tersendiri, kampus saya pun termasuk (UNS).
Manusia tumpah ruah di satu area kampus, belum masuk gerbang aja padetnya bukan main. kecepatan saya berjalan bahkan tidak lebih dari 5 cm/s. Map menunjukkan delegasi kampus ada di sayap kiri. Gue yang berencana melihat stand kampus gue terakhiran pun mengambil sayap kanan sebagai daerah yang hendak pertama kali gue telusuri. Di sayap kanan ini juga gue, Tiwi dan Astrid ini cuma cuci mata doang, ada hiburan ditonton, ada jualan ditonton, gak beli sama sekali.
Buat yang gak tau isi Pasar Seni itu gimana? gue punya 2 foto yang yang sempat diambil.
Stand stand itu menjajakan barang dagangannya. Semua barangnya punya nilai seni, dan sayangnya mahal-mahal. Gue yang gak bawa uang kas banyak hari itu cuma bisa melengos dari satu stand ke stand yang lain, masih dengan kecepatan kurang dari 5 cm/s.
Waktu dah menunjukkan pukul 12 siang hari itu. Gue yang udah selesai muter-muter pun pindah ke sayap kiri. Gue janji buat ketemuan sama Naufal yang lagi jaga stand delegasi UNS. 2 kali ngubek-ngubek sayap kiri gue tetap gak nemuin stand delegasi kampus. Baterai HP gue yang sekarat dan sinyal yang raib pun mencegah gue untuk bertanya lebih lanjut. Alhasil gue pada akhirnya cuma nungguin Tiwi di gerbang ITB, btw si Astrid dah pulang duluan karena ada kepentingan lain. Setengah jam kemudian Tiwi nongol, kita akhirnya mencoba (walau muak) masuk lagi buat nyari oleh-oleh seadanya. Meskipun siang sudah dijemput senja keramaian gak berkurang sedikitpun, kecepatan gue berjalan masih tidak lebih dari 5 cm/s.
Setelah dapat gantungan kunci, akhirnya kita keluar. Disana ketemu lagi sama Zahro dan Teti. Sempat foto-foto dan ngobrol-ngobrol sebentar sama mereka. Mereka yang baru mau masuk dan kami yang sudah mau pulang pun akhirnya berpisah. Gue yang diminta buat nemenin mereka muter-muter pun dengan sigap menolak.
Gue udah terlanjur muak karena susah bergerak, akhirnya kita berdua memutuskan untuk kembali ke Dayeuh Kolot tercinta.
Bahagia selamanya.
kamu diajak ketemuan sama siapa, bi?
BalasHapushahaha
Hapus