Memasuki penghujung kelas 10, Hari Rabu sepulang sekolah masih ada sekitar 15 anak di kelas termasuk Dinda, Nita, Angga, Tio dan Raka. Sudah biasa saat pulang beberapa murid masih di kelas. Ada yang masih main, mengobrol hingga internetan gratis karena baru-baru ini pihak sekolah memasang wi-fi. Sehari sebelumnya aku membulatkan tekad untuk mengungkapkannya.
Entah ini dinamakan nekat atau tidak, tapi perasaanku terus mendorong untuk melakukannya ditambah kata-kata "kompor" dari Kamila. Kadang aku berfikir apakah Kamila orang yang tepat sebagai tempatku bercerita tapi sudah terlanjur sejauh ini mau bagaimana lagi. Aku memberitahu Dinda dengan dalih sepulang sekolah aku ingin memberikan film drama Thailand yang baru ku download. Yap, jelas saja karena Dinda bisa dibilang seorang moviemania. Berbicara tentang film dengannya seakan tidak ada ujungnya sehingga dalih tersebut kurasa cocok untuk basa-basi.
Siang itu spontan jantungku berdebar tidak karuan, dipacu oleh segala macam pikiran dan perasaan yang campur aduk, rumit dan tidak karuan. Langkah kakiku berat seolah ditarik oleh magnet raksasa dari pusat bumi. Mulutku sulit sekali berucap seperti dibungkam tangan algojo yang hendak menghakimiku. Dengan kondisi itu aku tetap memaksakan diri sembari memegang flashdisk yang sudah berisi film yang kujanjikan. Aku bingung apakah aku ungkapkan dulu baru kuberikan filmnya atau aku memberi filmnya terlebih dahulu sebagai basa–basi “pembuka” ? Akhirnya aku mengambil opsi pertama. Aku berdiri di samping Dinda yang sedang duduk di kursinya.
Entah ini dinamakan nekat atau tidak, tapi perasaanku terus mendorong untuk melakukannya ditambah kata-kata "kompor" dari Kamila. Kadang aku berfikir apakah Kamila orang yang tepat sebagai tempatku bercerita tapi sudah terlanjur sejauh ini mau bagaimana lagi. Aku memberitahu Dinda dengan dalih sepulang sekolah aku ingin memberikan film drama Thailand yang baru ku download. Yap, jelas saja karena Dinda bisa dibilang seorang moviemania. Berbicara tentang film dengannya seakan tidak ada ujungnya sehingga dalih tersebut kurasa cocok untuk basa-basi.
Siang itu spontan jantungku berdebar tidak karuan, dipacu oleh segala macam pikiran dan perasaan yang campur aduk, rumit dan tidak karuan. Langkah kakiku berat seolah ditarik oleh magnet raksasa dari pusat bumi. Mulutku sulit sekali berucap seperti dibungkam tangan algojo yang hendak menghakimiku. Dengan kondisi itu aku tetap memaksakan diri sembari memegang flashdisk yang sudah berisi film yang kujanjikan. Aku bingung apakah aku ungkapkan dulu baru kuberikan filmnya atau aku memberi filmnya terlebih dahulu sebagai basa–basi “pembuka” ? Akhirnya aku mengambil opsi pertama. Aku berdiri di samping Dinda yang sedang duduk di kursinya.
“Din.”
“Ya, Nan? Oiya mau ngasih film?”
“Waduh, dia udah nanyain filmnya, padahal mau ngomong dulu” Ucapku dalam hati.
“Nngg... hmmm... gini Din.” Spontan aku menggaruk kepala seperti salah tingkah.
“Lo kenapa sih? Kaya tegang gitu wajah lo, nggak kaya biasanya.” Ya, satu lagi “shock therapy” yang membuatku makin grogi.
“Hhmmm.... gua bingung sih sebenernya mau gimana ngomongnya.”
“Ngomong apa? Lo lupa bawa filmnya?”
“Nngg... Nggak Din, tapi sebelumnya lo jangan marah ya, gua mau ngomong sesuatu sama lo. Sebenernya gua..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar